Pada saat ini banyak sekali orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Cerdas disini dinilai oleh mereka hanya dalam arti memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi saja, sehingga seringkali orang tua menyuruh anaknya untuk belajar terus-menerus tanpa mementingkan aspek sosial anak tersebut. Padahal menurut Gardner kecerdasan itu bersifat multidimensi, dan kunci kecerdasan itu akan terus meningkat sepanjang hidup seseorang. Maka dari itu kecerdasan seseorang tidak hanya dinilai dari tingkat kecerdasan (IQ) yang dimilikinya, melainkan dinilai dari sejauh mana seseorang dapat berinteraksi dengan baik di dalam lingkungannya yang dapat juga disebut sebagai kecerdasan sosial.
Kecerdasan sosial adalah ukuran kemampuan diri seseorang dalam pergaulan di masyarakat dan kemampuan berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. Menurut buku berjudul Virtue as Social Intelligence yang ditulis oleh Nancy Snow dijelaskan bahwa kecerdasan sosial juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, kemampuan kognitif, dan kasih sayang (misalnya empati) yang memungkinkan kita untuk berhasil menavigasi dunia sosial. Kecerdasan sosial memungkinkan kita untuk hidup dengan baik dalam domain sosial. Individu yang cerdas secara sosial mampu menangkap isyarat-isyarat sosial tertentu dan memiliki kemampuan kognitif dan emosional yang tepat untuk berinteraksi dengan orang lain. Mengembangkan kecerdasan sosial sangatlah penting jika kita ingin berkembang dan mencapai tujuan hidup.
Pada tahun 2005, Karl Albrecht mengusulkan sebuah model social intelligence yang terdiri dari lima poin dalam bukunya Social Intelligence: Ilmu Baru Sukses, yaitu “SPACE”
1. Situational Awareness (Kesadaran Situasional)
Makna dari kesadaran ini adalah sebuah kehendak untuk bisa memahami dan peka akan kebutuhan serta hak orang lain.
2. Presense (kemampuan membawa diri)
Bagaimana etika penampilan Anda, tutur kata dan sapa yang Anda bentangkan, gerak tubuh ketika bicara dan mendengarkan adalah sejumlah aspek yang tercakup dalam elemen ini. Setiap orang pasti akan meninggalkan impresi yang berlainan tentang mutu presense yang dihadirkannya.
3. Authenticity (Autensitas)
Sinyal dari perilaku kita yang akan membuat orang lain menilai kita sebagai orang yang layak dipercaya (trusted), jujur, terbuka, dan mampu menghadirkan sejumput ketulusan. Elemen ini amat penting sebab hanya dengan aspek inilah kita bisa membentangkan berjejak relasi yang mulia nan bermartabat.
4. Clarity (Kejelasan)
Aspek ini menjelaskan sejauh mana kita dibekali kemampuan untuk menyampaikan gagasan dan ide kita secara renyah nan persuasif sehingga orang lain bisa menerimanya dengan tangan terbuka. Acap kita memiliki gagasan yang baik, namun gagal mengkomunikasikannya secara cantik sehingga atasan atau rekan kerja kita ndak berhasil diyakinkan. Kecerdasan sosial yang produktif barangkali memang hanya akan bisa dibangun dengan indah manakala kita mampu mengartikulasikan segenap pemikiran kita dengan pemikiran yang jernih.
5. Empathy (empati)
Aspek ini merujuk pada sejauh mana kita bisa berempati pada pandangan dan gagasan orang lain. Dan juga sejauh mana kita memiliki ketrampilan untuk bisa mendengarkan dan memahami maksud pemikiran orang lain. Kita barangkali akan bisa merajut sebuah jalinan relasi yang guyub dan meaningful kalau saja kita semua selalu dibekali dengan rasa empati yang kuat terhadap sesama rekan kita.
Referensi:
Snow, Nancy E. Virtue as Social Intelligence: An Empirically Grounded Theory. New York: Routledge, 2010.
www.karlalbrecht.com/siprofile/siprofiletheory.htm
http://strategimanajemen.net/2009/03/02/merajut-kecerdasan-sosial/